Kasus pertama
Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya.
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya.
Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya.
Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.
Kasus Kedua
Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan
kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu
terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang
menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah
yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen
mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi
laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron,
dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan
yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $
393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian
sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisa : Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah
dilanggar dalam kasus ini, yaitu pada prinsip pertama berupa pelanggaran
tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada
jasa professional seorang akuntan. Prinsip kedua yaitu kepentingan
publik juga telah dilanggar dalam kasus ini. Seorang akuntan seharusnya
tidak hanya mementingkan kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan
publik.
2. Kasus Mulyana W. Kusuma
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang
anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan
audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic
untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara,
tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan
dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik
daripada sebeumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka
disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan
disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar
penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak
melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerjasama
dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan
KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat
auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus
ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya
melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode
etik akuntan.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat pelanggaran kode etik dimana auditor
telah melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang auditor
dalam mengungkapkan kecurangan. Auditor telah melanggar prinsip keempat
etika profesi yaitu objektivitas, karena telah memihak salah satu pihak
dengan dugaan adanya kecurangan. Auditor juga melanggar prinsip kelima
etika profesi akuntansi yaitu kompetensi dan kehati-hatian professional,
disini auditor dianggap tidak mampu mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan professionalnya sampai dia harus melakukan penjebakan untuk
membuktikan kecurangan yang terjadi.
Kasus KAP Andersen dan Enron
Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan
kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu
terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang
menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah
yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen
mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi
laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron,
dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan
yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $
393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian
sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.
Analisa : Pelanggaran etika dan prinsip profesi akuntansi telah
dilanggar dalam kasus ini, yaitu pada prinsip pertama berupa pelanggaran
tanggung jawab profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat pada
jasa professional seorang akuntan. Prinsip kedua yaitu kepentingan
publik juga telah dilanggar dalam kasus ini. Seorang akuntan seharusnya
tidak hanya mementingkan kepentingan klien saja, tapi juga kepentingan
publik.
3. Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak
kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan
laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah
melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun
1995-1997.Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta,
Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP
yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak
melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga
akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara
bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun
1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R,
JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R.
“Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi.
Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang
diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu,
ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat
akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan
pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan
publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau
kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi
kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba
ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan
administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena
itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini
karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai,
kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan
laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan
bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan
masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari
kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis
terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.
Analisa : Dalam kasus ini terdapat banyak pelanggaran kode etik profesi
akuntan. Prinsip pertama yaitu tanggung jawab profesi telah dilanggar.
Karena auditor telah menerbitkan laporan palsu, maka kepercayaan
masyarakat terhadapnya yang dianggap dapat menyajikan laporan keuangan
telah disalahi. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah
dilanggar, karena dianggap telah menyesatkan public dengan disajikannya
laporan keuangan yang telah direkayasa. Bahkan prinsip keempat yaitu
obyektivitas juga dilanggar, yaitu mereka tidak memikirkan kepentingan
public melainkan hanya mementingkan kepentingan klien.
Kasus ketiga
Kasus pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan pun memberi sanksi pembekuan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membekukan izin
Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik
(KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung sejak 15
Maret 2007. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar
Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3),
menjelaskan sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik
tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP). Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas
Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004
yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan
pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit
umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan
Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004. Selama
izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi termasuk
audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang
bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang
KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah
diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan
Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut
sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003. Pembekuan izin yang dilakukan oleh Menkeu ini merupakan yang kesekian kalinya. Pada 4 Januari 2007, Menkeu membekukan izin Akuntan Publik (AP) Djoko Sutardjo dari
Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18
bulan. Djoko dinilai Menkeu telah melakukan pelanggaran atas pembatasan
penugasan audit dengan hanya melakukan audit umum atas laporan keuangan
PT Myoh Technology Tbk (MYOH). Penugasan ini dilakukan secara
berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga 2005.
Kasus Keempat
Komisaris PT Kereta Api mengungkapkan adanya manipulasi laporan keuangan
BUMN tersebut di mana seharusnya perusahaan merugi namun dilaporkan
memperoleh keuntungan.
“Saya tahu bahwa ada sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan sebagai beban bagi perusahaan tetapi malah dinyatakan masih sebagai aset perusahaan. Jadi ada trik akuntansi,” kata salah satu Komisaris PT Kereta Api, Hekinus Manao di Jakarta, Rabu.
Ia menyebutkan, hingga kini dirinya tidak mau menandatangani laporan keuangan itu karena adanya ketidakbenaran dalam laporan keuangan BUMN perhubungan itu.
“Saya tahu laporan yang diperiksa oleh akuntan publik itu tidak benar karena saya sedikit banyak mengerti akuntansi, yang mestinya rugi dibuat laba,” kata penyandang Master of Accountancy, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio USA tahun 1990.
Akibat tidak ada tanda tangan dari satu komisaris, rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Kereta Api yang seharusnya dilaksanakan sekitar awal Juli 2006 ini juga harus dipending.
Dari berbagai kasus di atas ada beberapa hal yang dapat dibahas, bahwa Seorang akuntan public hendaklah memegang teguh Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dapat terciptanya akuntan publik yang jujur, berkualitas dan dapat dipercaya. Dengan adanya contoh pada kasus 2, yaitu dibekukannya izin Drs. Mitra Winata dan Rekan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan kasus pelanggaran lainya seperti Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi akan mencoreng nama baik dari akuntan publik dan hal ini akan sangat merugikan seperti hilangnya kepercaayaaan masyarakat.
Sedangkan pada kasus 1, Akibat gagalnya Akuntan Publik Arthur Andersen menemukan kecurangan yang dilakukan oleh Enron maka memberikan reaksi keras dari masyarakat (investor) sehingga berpengaruh terhadap harga saham Enron di pasar modal. Kasus Enron ini menyebabkan indeks pasar modal Amerika jatuh sampai 25 %. Perusahaan akuntan yang mengaudit laporan keuangan Enron, Arthur andersen, tidak berhasil melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam tubuh Enron. Di samping sebagai eksternal auditor, Arthur andersen juga bertugas sebagai konsultan manajemen Enron. Besarnya jumlah consulting fees yang diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia kompromi terhadap temuan auditnya dengan klien mereka.
KAP Arthur Andersen memiliki kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit formal. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Akibatnya, banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup. Faktor tersebut adalah merupakan perilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan good corporate governance philosofy yang membahayakan terhadap business going cocern.
“Saya tahu bahwa ada sejumlah pos yang sebetulnya harus dinyatakan sebagai beban bagi perusahaan tetapi malah dinyatakan masih sebagai aset perusahaan. Jadi ada trik akuntansi,” kata salah satu Komisaris PT Kereta Api, Hekinus Manao di Jakarta, Rabu.
Ia menyebutkan, hingga kini dirinya tidak mau menandatangani laporan keuangan itu karena adanya ketidakbenaran dalam laporan keuangan BUMN perhubungan itu.
“Saya tahu laporan yang diperiksa oleh akuntan publik itu tidak benar karena saya sedikit banyak mengerti akuntansi, yang mestinya rugi dibuat laba,” kata penyandang Master of Accountancy, Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio USA tahun 1990.
Akibat tidak ada tanda tangan dari satu komisaris, rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Kereta Api yang seharusnya dilaksanakan sekitar awal Juli 2006 ini juga harus dipending.
Dari berbagai kasus di atas ada beberapa hal yang dapat dibahas, bahwa Seorang akuntan public hendaklah memegang teguh Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dapat terciptanya akuntan publik yang jujur, berkualitas dan dapat dipercaya. Dengan adanya contoh pada kasus 2, yaitu dibekukannya izin Drs. Mitra Winata dan Rekan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan kasus pelanggaran lainya seperti Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi akan mencoreng nama baik dari akuntan publik dan hal ini akan sangat merugikan seperti hilangnya kepercaayaaan masyarakat.
Sedangkan pada kasus 1, Akibat gagalnya Akuntan Publik Arthur Andersen menemukan kecurangan yang dilakukan oleh Enron maka memberikan reaksi keras dari masyarakat (investor) sehingga berpengaruh terhadap harga saham Enron di pasar modal. Kasus Enron ini menyebabkan indeks pasar modal Amerika jatuh sampai 25 %. Perusahaan akuntan yang mengaudit laporan keuangan Enron, Arthur andersen, tidak berhasil melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam tubuh Enron. Di samping sebagai eksternal auditor, Arthur andersen juga bertugas sebagai konsultan manajemen Enron. Besarnya jumlah consulting fees yang diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia kompromi terhadap temuan auditnya dengan klien mereka.
KAP Arthur Andersen memiliki kebijakan pemusnahan dokumen yang tidak menjadi bagian dari kertas kerja audit formal. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Akibatnya, banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup. Faktor tersebut adalah merupakan perilaku tidak etis yang sangat bertentangan dengan good corporate governance philosofy yang membahayakan terhadap business going cocern.
Kasus Kelima
Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah
satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus
Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan
oleh Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing
berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik
atau diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua,
laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang
disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor akuntan publik
Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan
disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga
versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan
mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang
disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan
adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42
triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273
triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan
pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen dengan
mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana
angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933
triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77
miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda
kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena
pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa pengecualian” di
laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember
2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada
Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio,
Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi
penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari.
2. Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya.
Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak
kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan
laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah
melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun
1995-1997. Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta,
Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP
yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak
melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga
akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara
bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun
1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R,
JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R.
“Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi.
Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang
diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu,
ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat
akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan
pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan
publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau
kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi
kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba
ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan
administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena
itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini
karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai,
kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan
laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan
bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan
masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya.
Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan
sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya
yang melanggar kode etik profesi akuntan.
comment :Dalam kasus tersebut, akuntan yang bersangkutan banyak
melanggar kode etik profesi akuntan.Dengan menerbitkan laporan palsu,
maka akuntan telah menyalahi kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada mereka selaku orang yang dianggap dapat dipercaya dalam penyajian
laporan keuangan.Dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam profesi
akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para
akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai auditor dengan
menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi
lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya
memiliki kepentingan tersendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar